Pengertian kepemimpinan adalah faktor kunci dalam suksesnya
suatu organisasi serta manajemen. Kepemimpinan adalah entitas yang mengarahkan
kerja para anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan
yang baik diyakini mampu mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong potensi
sumber daya organisasi agar dapat bersaing secara baik.
Konsep kepemimpinan telah banyak ditawarkan para penulis di
bidang organisasi dan manajemen. Kepemimpinan tentu saja mengkaitkan aspek
individual seorang pemimpin dengan konteks situasi di mana pemimpin tersebut
menerapkan kepemimpinan. Kepemimpinan
juga memiliki sifat kolektif dalam arti segala perilaku yang diterapkan seorang
pimpinan akan memiliki dampak luas bukan bagi dirinya sendiri melainkan seluruh
anggota organisasi.
Sebelum memasuki materi kepemimpinan, perlu terlebih dahulu
dibedakan konsep pemimpin (leader) dengan kepemimpinan (leadership). Pemimpin
adalah individu yang mampu mempengaruhi anggota kelompok atau organisasi guna
mendorong kelompok atau organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuannya. Pemimpin
menunjuk pada personal atau individu spesifik atau kata benda. Sementara itu,
kepemimpinan adalah sifat penerapan pengaruh oleh seorang anggota kelompok atau
organisasi terhadap anggota lainnya guna mendorong kelompok atau organisasi
mencapai tujuan-tujuannya.
Definisi Kepemimpinan
Cukup banyak definisi kepemimpinan yang ditawarkan para ahli
di bidang organisasi dan manajemen. Masing-masing memiliki perspektif dan
metodelogi pembuatan definisi yang cukup berbeda, bergantung pada pendekatan
(epistemologi) yang mereka bangun guna menyelidiki fenomena kepemimpinan.
Stephen Robbins, misalnya mendefinisikan kepemimpinan
sebagai “ ... the ability to influence a group toward the achievement of
goals.”[1] Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna
mencapai serangkaian tujuan. Kata “kemampuan”, “pengaruh” dan “kelompok” adalah
konsep kunci dari definisi Robbins.
Definsi lain, yang cukup sederhana, diajukan oleh Laurie J.
Mullins.[2] Menurut Mullins, kepemimpinan adalah “ ... a relationship through
which one person influences the behaviour or actions of other people.” Definisi
Mullins menekankan pada konsep “hubungan” yang melaluinya seseorang
mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain. Kepemimpinan dalam definisi
yang demikian dapat berlaku baik di organisasi formal, informal, ataupun nonformal.
Asalkan terbentuk kelompok, maka kepemimpinan hadir guna mengarahkan kelompok
tersebut.
Definisi kepemimpinan yang agak berbeda dikemukakan oleh
Robert N. Lussier dan Christopher F. Achua.[3] Menurut mereka, kepemimpinan
adalah “... the influencing process of leaders and followers to achieve
organizational objectives through change.” Bagi Lussier and Achua, proses
mempengaruhi tidak hanya dari pemimpin kepada pengikut atau satu arah melainkan
timbal balik atau dua arah. Pengikut yang baik juga dapat saja memunculkan
kepemimpinan dengan mengikuti kepemimpinan yang ada dan pada derajat tertentu
memberikan umpan balik kepada pemimpin. Pengaruh adalah proses pemimpin
mengkomunikasikan gagasan, memperoleh penerimaan atas gagasan, dan memotivasi
pengikut untuk mendukung serta melaksanakan gagasan tersebut lewat “perubahan.”
Definisi kepemimpinan juga diajukan Yukl, yang menurutnya
adalah “ ... the process of influencing others to understand and agree about
what needs to be done and how to do it, and the process of facilitating
individual and collective efforts to accomplish shared objectives.”[4] [“...
proses mempengaruhi orang lain agar mampu memahami serta menyetujui apa yang
harus dilakukan sekaligus bagaimana melakukannya, termasuk pula proses memfasilitasi
upaya individu atau kelompok dalam memenuhi tujuan bersama.”]
Definisi kepemimpinan, cukup singkat, diajukan Peter G.
Northouse yaitu “ ... is a process whereby an individual influences a group of
individuals to achieve a common goal.”[5] [“ ... adalah proses dalam mana
seorang individu mempengaruhi sekelompok individu guna mencapai tujuan
bersama.”] Lewat definisi singkat ini, Northouse menggarisbawahi sejumlah
konsep penting dalam definisi kepemimpinan yaitu:
kepemimpinan
merupakan sebuah proses;
kepemimpinan
melibatkan pengaruh;
kepemimpinan
muncul di dalam kelompok;
kepemimpinan
melibatkan tujuan bersama.
Pendekatan dalam Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu konsep yang kompleks sehingga para
ahli mengkaji masalah ini dari aneka sisi. Masing-masing sisi memiliki
keunggulan dan kelemahan masing-masing. Sebagai contoh, penulis seperti Peter
G. Northouse membagi pendekatan kepemimpinan menjadi:
Pendekatan Sifat
(Trait);
Pendekatan
Keahlian (Skill);
Pendekatan Gaya
(Style);
Pendekatan
Situasional;
Pendekatan
Kontijensi;
Teori Path-Goal;
Teori Pertukaran
Leader-Member;
Pendekatan
Transformasional;
Pendekatan
Otentik;
Pendekatan Tim;
Pendekatan
Psikodinamik.
Pendekatan Sifat (Trait Approach atau Quality Approach)
Pendekatan sifat termasuk pendekatan kepemimpinan yang
paling tua. Pendekatan sifat menganggap pemimpin itu dilahirkan (given) bukan
dilatih atau diasah. Kepemimpinan terdiri atas atribut tertentu yang melekat
pada diri pemimpin, atau sifat personal, yang membedakan pemimpin dari
pengikutnya. Sebab itu, pendekatan sifat juga disebut teori kepemimpinan
orang-orang besar. Lebih jauh, pendekatan ini juga membedakan antara pemimpin
yang efektif dengan yang tidak efektif. Pendekatan ini dimulai tahun 1930-an
dan hingga kini telah meliputi 300 riset.
Fokus pendekatan sifat semata-mata pada pemimpin per se.
Pemimpin berbeda dengan pengikut akibat ia punya sejumlah sifat kualitatif yang
tidak dimiliki pengikut pada umumnya. Setelah merangkum studi yang dilakukan
oleh Ralph Melvin Stogdill (1948), Mann (1959), Stogdill (1974), Lord, DeVader,
and Alliger (1986), Kirkpatrick and Locke (1991) dan Zaccaro, Kemp, and Bader
(2004), Peter G. Northouse menyimpulkan sifat-sifat yang melekat pada diri seorang
pemimpin yang melakukan kepemimpinan (menurut pendekatan sifat) adalah
sifat-sifat kualitatif berikut:
Intelijensi –
Pemimpin cenderung punya intelijensi dalam hal kemampuan bicara, menafsir, dan
bernalar yang lebih kuat ketimbang yang bukan pemimpin.
Kepercayaan Diri –
Kepercayaan diri adalah keyakinan akan kompetensi dan keahlian yang dimiliki,
dan juga meliputi harga diri serta keyakinan diri.
Determinasi –
Determinasi adalah hasrat menyelesaikan pekerjaan yang meliputi ciri seperti berinisiatif,
kegigihan, mempengaruhi, dan cenderung menyetir.
Integritas –
Integritas adalah kualitas kujujuran dan dapat dipercaya. Integritas membuat
seorang pemimpin dapat dipercaya dan layak untuk diberi kepercayaan oleh para
pengikutnya.
Sosiabilitas –
Sosiabilitas adalah kecenderungan pemimpin untuk menjalin hubungan yang
menyenangkan. Pemimpin yang menunjukkan sosiabilitas cenderung bersahabat,
ramah, sopan, bijaksana, dan diplomatis. Mereka sensitif terhadap kebutuhan
orang lain dan menunjukkan perhatian atas kehidupan mereka.
Sementara itu, secara kuantitatif, pendekatan sifat memilah
indikator kepemimpinan yang juga dikenal sebagai The Big Five Personality
Factors sebagai berikut:
Neurotisisme–
Kecenderungan menjadi depresi, gelisah, tidak aman, mudah diserang, dan
bermusuhan;
Ekstraversi–
Kecenderungan menjadi sosiabel dan tegas serta punya semangat positif;
Keterbukaan–
Kecenderungan menerima masukan, kreatif, berwawasan, dan punya rasa ingin tahu;
Keramahan–
Kecenderungan untuk menerima, menyesuaikan diri, bisa dipercaya, dan mengasuh;
dan
Kecermatan–
Kecenderungan untuk teliti, terorganisir, terkendali, dapat diandalkan, dan
bersifat menentukan.
Kelima faktor yang dapat dikuantifikasi di atas, lewat
sejumlah riset, punya korelasi kuat dengan kepemimpinan-kepemimpinan tertentu
di dalam organisasi.
Pendekatan Keahlian (Skills Approach)
Pendekatan Keahlian punya fokus yang sama dengan pendekatan
sifat yaitu individu pemimpin. Bedanya, jika pendekatan sifat menekankan pada
karakter personal pemimpin yang bersifat given by God, maka pendekatan keahlian
menekankan pada keahlian dan kemampuan yang dapat dipelajari dan dikembangkan
oleh siapapun yang ingin menjadi pemimpin organisasi.
Jika pendekatan sifat mempertanyakan siapa saja yang mampu
untuk menjadi pemimpin, maka pendekatan keahlian mempertanyakan apa yang harus
diketahui untuk menjadi seorang pemimpin. Definisi pendekatan keahlian adalah
kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuan dan kompetensi yang ada dalam
dirinya untuk mencapai seperangkat tujuan. Keahlian, menurut pendekatan
keahlian dapat dipelajari, dilatih, dan dikembangkan.
Pendekatan Keahlian terbagi dua : (1) Keahlian Administratif
Dasar, dan (2) Model Keahlian Baru. Keahlian Administratif Dasar terdiri atas
penguasaan dalam hal: Teknis, Manusia, dan Konseptual.
Keahlian Administratif Dasar. Kepemimpinan banyak didasari
oleh tiga keahlian administrasi dasar yaitu: teknis, manusia, dan konseptual.
Keahlian-keahlian ini berbeda sesuai sifat dan kualitas seorang pemimpin.
1. Keahlian Teknis.
Keahlian ini merupakan pengetahuan mengenai dan kemahiran atas jenis pekerjaan
tertentu. Keahlian ini meliputi kompetensi-kompetensi di area spesialisasi
tertentu, kemampuan analitis, dan kemampuan menggunakan alat dan teknik yang
tepat. Contoh, di perusahaan software komputer, keahlian teknis dapat meliputi
pengetahuan bahasa program dan bagaimana memprogramnya, serta memastikan
hasilnya dapat dimanfaatkan oleh para klien.
2. Keahlian Manusia.
Keahlian Manusia adalah pengetahuan mengenai dan kemampuan bekerja dengan orang
lain. Keahlian ini beda dengan keahlian teknis, di mana keahlian manusia
berorientasi manusia, sementara keahlian teknis berorientasi benda.
3. Keahlian
Konseptual. Keahlian konseptual adalah kemampuan untuk bekerja dengan
gagasan-gagasan dan konsep-konsep. Jika keahlian teknis bicara tentang kerja
dengan benda, keahlian manusia bicara tentang kerja dengan manusia, maka
keahlian konseptual bicara tentang kerja dengan ide atau gagasan. Pemimpin yang
punya keahlian konseptual merasa nyaman tatkala bicara tentang ide yang
membentuk suatu organisasi dan dapat melibatkan diri ke dalamnya. Mereka mahir
menempatkan tujuan organisasi ke dalam kata-kata yang bisa dipahami oleh para
pengikutnya.
Model Keahlian Baru. Model Keahlian Baru dikenal juga dengan
nama Model Kapabilitas. Model ini menguji hubungan antara pengetahuan dan
keahlian seorang pemimpin dengan kinerja yang ditunjukkan oleh pemimpin
tersebut dalam memimpin.
Pendekatan Gaya Kepemimpinan
Pendekatan gaya kepemimpinan menekankan pada perilaku
seorang pemimpin. Ia berbeda dengan pendekatan sifat yang menekankan pada
karakteristik pribadi pemimpin, juga berbeda dengan pendekatan keahlian yang
menekankan pada kemampuan administratif pemimpin. Pendekatan gaya kepemimpinan
fokus pada apa benar-benar dilakukan oleh pemimpin dan bagaimana cara mereka
bertindak. Pendekatan ini juga memperluas kajian kepemimpinan dengan bergerak
ke arah tindakan-tindakan pemimpin terhadap anak buah di dalam aneka situasi.
Pendekatan ini menganggap kepemimpinan apapun selalu
menunjukkan dua perilaku umum : (1) Perilaku Kerja, dan (2) Perilaku Hubungan.
Perilaku kerja memfasilitasi tercapainya tujuan: Mereka membantu anggota
kelompok mencapai tujuannya. Perilaku hubungan membantu bawahan untuk merasa
nyaman baik dengan diri sendiri, dengan orang lain, maupun dengan situasi
dimana mereka berada. Tujuan utama pendekatan gaya kepemimpinan adalah
menjelaskan bagaimana pemimpin mengkombinasikan kedua jenis perilaku (kerja dan
hubungan) guna mempengaruhi bawahan dalam upayanya mencapai tujuan organisasi.
Pendekatan gaya kepemimpinan secara singkat
direpresentasikan oleh tiga riset yang satu sama lain berbeda. Pertama, riset
Ohio State University yang diadakan di akhir 1940-an lewat karya Stogdill
(1948), yang memberi perhatian yang lebih dari sekadar sifat dalam mengkaji
kepemimpinan. Kedua, riset yang diadakan di University of Michigan yang
mengeksplorasi bagaimana kepemimpinan menjalankan fungsinya di dalam kelompok
kecil. Ketiga, riset yang diawali oleh Blake dan Mouton di awal 1960-an yang
mengeksplorasi bagaimana manajer menggunakan perilaku kerja dan hubungannya
dalam konteks organisasi.
1. Riset di Ohio
State University
Kelompok riset di Ohio State University yakin bahwa dengan
memposisikan kepimpinan sebagai sifat personal akan kurang berhasil dalam
menganalisis fenomena kepemimpinan. Kelompok ini memutuskan untuk menganalisis
bagaimana individu bertindak tatkala mereka tengah memimpin suatu kelompok atau
organisasi. Analisis dilakukan dengan menyuruh para bawahan mengisi kuesioner
yang berisi kesan-kesan mereka atas pimpinannya. Dalam kuesioner, bawahan harus
mengidentifikasi berapa kali pimpinan mereka melakukan jenis perilaku tertentu.
Kuesioner tersebut terdiri atas 1800 pertanyaan yang
menggambarkan aneka aspek berbeda dari perilaku seorang pemimpin. Dari daftar
panjang tersebut, diformulasikanlah 150 pertanyaan yang kemudian dikenal
sebagai Leader Behavior Description Questionnaire (LBDQ). LBDQ diberikan kepada
pada ratusan orang di bidang pendidikan, militer, dan industri, dan hasilnya
menunjukkan bahwa kelompok perilaku tertentu adalah khas seorang pemimpin. Enam
tahun kemudian, R.M. Stogdill mempublikasikan versi ringkas LBDQ yang disebut
LBDQ-XII, yang menjadi kuesioner yang paling banyak digunakan dalam riset
kepemimpinan.
Para peneliti menemukan bahwa tanggapan bawahan atas
pimpinan dalam kuesioner yang mereka isi mengelompok pada dua tipe umum
perilaku pimpinan. Pertama, struktur prakarsa yaitu sejauh mana seorang pemimpin
mendefinisikan serta menentukan peran-peran para bawahan dalam rangka merancang
dan memenuhi tujuan di area pertanggungjawabannya.[6] Gaya ini menekankan
pengarahan kegiatan pekerja dalam tim ataupun individu lewat perencanaan,
pengkomunikasian, penjadualan, penugasan pekerjaan, penekanan deadline, dan
pemberian perintah. Pemimpin memelihara standard kinerja yang ketat dan
berharap bawahan memenuhinya.
Dampak positif dari pemimpin yang
mengaplikasikan Struktur Prakarsa atas produktivitas dan kepuasan kerja muncul
tatkala : (1) penekanan yang tinggi atas hasil dilakukan oleh orang lain selain
dari pemimpin; (2) pekerjaan memuaskan pekerja; (3) pekerja bergantung pada
pemimpin atas informasi dan arahan seputar bagaimana menyelesaikan pekerjaan;
(4) pekerja secara psikologis dapat dipengaruhi lewat pemberian instruksi
seputar dalam hal apa saja yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya; dan
(5) lebih dari 12 pekerja melapor secara intens kepada pemimpin
Kedua, perilaku perhatian yang pada dasarnya sama dengan
perilaku hubungan. Perilaku perhatian adalah sejauh mana pemimpin punya
hubungan dengan bawahan yang dicirikan oleh sikap saling percaya, jalinan
komunikasi dua arah, respek pada gagasan pekerja, dan empati atas perasaan
mereka. Gaya ini menekankan pada pemuasan kebutuhan psikologis pekerja.
Pemimpin umumnya menyediakan waktu untuk mendengar, berkeinginan melakukan
perubahan nasib pekerja, mengupayakan kesejahteraan pribadi para pekerja,
bersahabat, dan mudah didekati. Derajat perhatian yang tinggi ini
mengindikasikan kedekatan psikologis antara pimpinan dan bawahan; derajat
perhatian yang rendah menunjukkan jarak psikologis yang lebar dan pimpinan
lebih impersonal (kurang manusiawi).
Dampak manfaat dari pemimpin yang menunjukkan perilaku
perhatian atas produktivitas dan kepuasan kerja muncul tatkala (1) tugas
bersifat rutin dan sedikit mengabaikan pekerja; (2) bawahan terpengaruh oleh
kepemimpinan yang partisipatif; (3) anggota tim harus belajar sesuatu yang
baru; (4) pekerja merasa keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan
memperoleh dukungan dan berdampak atas hasil kinerja mereka; dan (5) pekerja
merasa bahwa perbedaan status yang nyata antara mereka dengan pimpinan
seharusnya tidak ada.
2. Riset di
University of Michigan
Titik tekan riset di University of Michigan adalah
eksplorasi perilaku kepemimpinan, yang memberikan perhatian khusus utamanya
pada dampak perilaku pemimpin atas kinerja suatu kelompok kecil.[7]
Riset di University of Michigan mengidentifikasi dua jenis
perilaku kepemimpinan. Pertama, orientasi pekerja yaitu perilaku pemimpin yang
mendekati bawahan dengan penekanan hubungan manusia yang kuat. Mereka menaruh
perhatian pada pekerja sebagai makhluk hidup, menghargai individualitas mereka,
dan memberi perhatian khusus atas kebutuhan pribadi mereka. Kedua, orientasi
produksi, terdiri atas perilaku pemimpin yang menekankan pada aspek teknis dan
produksi dari suatu pekerjaan. Dari orientasi ini, pekerja dilihat sebagai alat
guna menyelesaikan pekerjaan.
3. Blake and Mouton Grid (Kisi-kisi Blake dan Mouton)
Robert R. Blake and Jane S. Mouton tahun 1991 mengembangkan
suatu grid (kisi-kisi) kepemimpinan guna menunjukkan bahwa pemimpin dapat
membantu organisasi mencapai tujuannya lewat dua orientasi, yaitu :
(1)
Perhatian atas Produksi
(2) Perhatian atas orang.
Kedua orientasi ini
mencerminkan kembali perilaku kerja dan perilaku hubungan seperti terjadi di
riset Ohio State University.
Dengan menggunakan grid (kisi-kisi), Blake dan Mouton
menciptakan 5 gaya kepemimpinan. Gaya-gaya tersebut adalah
1) Gaya Taat Otoritas (Authority-Compliance)
Gaya ini menggambarkan pemimpin yang dikendalikan oleh
pencapaian hasil atau target, dengan sedikit atau bahkan tidak ada perhatian
pada manusia kecuali dalam rangka keterlibatan mereka dalam menyelesaikan
pekerjaan. Komunikasi pemimpin dengan pengikutnya terbatas dan diadakan sekadar
untuk memberi instruksi pekerjaan. Pemimpin-pemimpin ini bercorak pengendali,
pengarah, terlalu kuat, dan penuntut. Mereka bukan kolega kerja yang
menyenangkan. Sejumlah penelitian menunjukkan tingkat keluar-masuk karyawan
yang tinggi dengan gaya kepemimpinan semacam ini.
2) Gaya Country-Club
Gaya country-club menggambarkan pemimpin dengan perhatian
tinggi pada orang tetapi rendah perhatiannya pada hasil atau produksi. Pemimpin
ini fokus pada pemenuhan kebutuhan pekerja sebagai manusia dan penciptaan
lingkungan yang kondusif dalam pekerjaan. Keluar-masuk karyawan menurun di
bawah pemimpin bergaya ini.
3) Gaya Lemah (Impoverished Management)
Gaya lemah menggambarkan pimpinan yang punya sedikit
perhatian baik atas orang ataupun produksi. Pemimpin bergaya ini berlaku
sebagai pemimpin tetapi sesungguhnya terasing dan tidak melibatkan diri dalam
organisasi. Pemimpin ini kerap punya sedikit hubungan dengan pengikut dan dapat
saja dianggap tidak peduli, tidak tegas, pasrah, dan bersikap masa bodoh.
Umumnya kita mengenalnya dengan laissez faire.
4) Gaya
Middle-of-the-Road (Gaya Jalan Tengah)
Gaya jalan tengah menggambarkan pemimpin yang kompromistik,
yang punya perhatian menengah atas pekerjaan dan perhatian tengah atas
orang-orang yang melakukan pekerjaan. Pemimpin menghindari konflik dan
menekankan pada tingkat produksi serta hubungan personal yang moderat. Gaya
kepemimpinan ini kerap digambarkan sebagai orang yang bijaksana, lebih suka
berada di tengah, samar pendirian dalam minat atas kemajuan organisasi, dan
sulit menyatakan ketidaksetujuannya di hadapan pekerja.
5) Gaya Manajemen Tim
Gaya manajemen tim memberi tekanan seimbang, baik pada
pekerjaan ataupun hubungan antarpersonal. Gaya ini mendorong derajat
partisipasi dan kerja tim yang tinggi di dalam organisasi sehingga mampu
memuaskan kebutuhan dasar pekerja agar mereka tetap merasa terlibat dan punya
komitmen kuat dalam pekerjaannya. Kata yang dapat menggambarkan pemimpin yang
menerapkan gaya manajemen tim adalah : menstimulir, partisipatif, penentu
tindakan, pembuka isu, penjelas prioritas, pembuat terobosan, bersikap terbuka,
dan penikmat pekerjaan.
6) Paternalistik/Maternalistik
Gaya manajemen tim mengintegrasikan perhatian tinggi atas
pekerja sekaligus dan pekerjaan. Namun, mungkin pula ada pemimpin yang
menerapkan secara sekaligus, baik perhatian tinggi pada orang maupun perhatian
tinggi pada produksi, tetapi tidak dengan cara yang integratif. Pemimpin
seperti ini berpindah dari gaya taat otoritas menjadi gaya country-club
bergantung pada situasi. Mereka biasa disebut diktator yang murah hati, karena
mereka bertindak ramah pada pekerja hanya agar pekerjaan selesai, untuk
kemudian berpindah kembali menjadi diktator yang sesungguhnya. Gaya ini disebut
paternalistik/maternalistik, dan pemimpin bergaya ini melakukannya karena
memandang pekerja tidak terkait dengan pencapaian tujuan organisasi. “Orang ya
orang, kerjaan ya kerjaan. Beda.”
7) Oportunis
Gaya oportunis merujuk pada pemimpin yang secara
oportunistik menggunakan aneka kombinasi dari 5 gaya “resmi” (nomor 1 s/d 5)
guna meningkatkan karier mereka.
Black and Mouton menandaskan bahwa pemimpin biasanya punya
satu gaya yang dominan dan satu gaya cadangan. Pemimpin berpindah ke gaya
cadangan tatkala gaya dominan tidak efektif dan mereka tengah berada di bawah
tekanan berat. Guna meringkas ketiga riset yang telah dipaparkan, maka ada
baiknya dimuat ikhtisar berupa taksonomi yang disusun oleh Rowe and Guerrero
sebagai berikut :
-Riset
-Perilaku Kerja
-Perilaku Hubungan
Ohio State University
Struktur Penyusunan
Pengorganisasian pekerjaan
Penentuan struktur kerja
Penentuan tanggung jawab
Penjadualan kegiatan
Perhatian
Pembangunan respek, kepercayaan, kesukaan, dan
kesetiakawanan pemimpin dan pengikut
University of Michigan
Orientasi Produksi
Penekanan aspek teknis
Penekanan aspek produksi
Pekerja dilihat sebagai alat agar pekerjaan selesai
-Orientasi Pekerja
Pekerja dilihat lewat aspek hubungan manusia yang kuat
Pemimpin memperlakukan pekerja selaku makhluk hidup,
menghargai individualitas pekerja, memberi perhatian pada kebutuhan pekerja
Blake dan Mouton
-Perhatian atas Produksi
Penyelesaian tugas; Pembuatan keputusan; Pengembangan produk
baru; Optimalisai proses; Maksimalisasi beban kerja; Peningkatan volume
penjualan
-Perhatian atas Manusia
Melayani orang; Membangun komitmen dan kepercayaan;
Mempromosikan nilai pribadi pekerja; Menyediakan kondisi
kerja yang baik; Memelihara
upah/keuntungan yang adil; Mempromosikan hubungan sosial yang baik
Pendekatan Kepemimpinan Situasional
Pendekatan Situasional adalah pendekatan yang paling banyak
dikenal. Pendekatan ini dikembangkan oleh Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard
tahun 1969 berdasarkan Teori Gaya Manajemen Tiga Dimensi karya William J.
Reddin tahun 1967. Pendekatan kepemimpinan Situasional fokus pada fenomena
kepemimpinan di dalam suatu situasi yang unik. Premis dari pendekatan ini
adalah perbedaan situasi membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Dari cara
pandang ini, seorang pemimpin agar efektif harus mampu menyesuaikan gaya mereka
terhadap tuntutan situasi yang berubah-ubah.
Pendekatan kepemimpinan situasional menekankan bahwa
kepemimpinan terdiri atas dimensi arahan dan dimensi dukungan. Setiap dimensi
harus diterapkan secara tepat dengan memperhatikan situasi yang berkembang.
Guna menentukan apa yang dibutuhkan oleh situasi khusus, pemimpin harus
mengevaluasi pekerja mereka dan menilai seberapa kompeten dan besar komitmen
pekerja atas pekerjaan yang diberikan.
Dengan asumsi bahwa motivasi dan keahlian pekerja berbeda di
setiap waktu, kepemimpinan situasional menyarankan pemimpin untuk mengubah
tinggi-rendahnya derajat tatkala mengarahkan atau mendukung para pekerja dalam
memenuhi kebutuhan bawahan yang juga berubah. Dalam pandangan kepemimpinan
situasional, pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu mengenali apa yang
dibutuhkan pekerja untuk kemudian (secara kreatif) menyesuaikan gaya mereka
agar memenuhi kebutuhan pekerja tersebut.
Kepemimpinan situasional menyediakan empat pilihan gaya
kepemimpinan. Keempat gaya tersebut melibatkan aneka kombinasi dari Perilaku
Kerja dengan Perilaku Hubungan. Perilaku Kerja meliputi penggunaan komunikasi
satu-arah, pendiktean tugas, dan pemberitahuan pada pekerja seputar hal apa
saja yang harus mereka lakukan, kapan, dan bagaimana melakukannya. Pemimpin
yang efektif menggunakan tingkat perilaku kerja yang tinggi di sejumlah situasi
dan hanya sekedarnya di situasi lain.
Perilaku hubungan meliputi penggunaan komunikasi dua-arah,
mendengar, memotivasi, melibatkan pengikut dalam proses pengambilan keputusan,
serta memberikan dukungan emosional pada mereka. Perilaku hubungan juga
diberlakukan secara berbeda di aneka situasi.
Dengan mengkombinasikan derajat tertentu perilaku kerja dan
derajat tertentu perilaku hubungan, pemimpin yang efektif dapat memilih empat
gaya kepemimpinan yang tersedia, yaitu:
Pemberitahu
Partisipatif
Penjual
Pendelegasi
Bagan dari keempat jenis gaya kepemimpinan situasional kami
sampaikan pula.[11]
Gambar 11 Kuadran Gaya Kepemimpinan versi Hellriegel and
Slocum
Menurut model ini, pemimpin harus mempertimbangkan situasi
sebelum memutuskan gaya kepemimpinan mana yang hendak digunakan. Kontijensi
situasional pada model adalah derajat Readiness (Kesiapan). Kesiapan adalah
kemampuan pengikut untuk memahami tujuan organisasi yang berhubungan dengan
pekerjaan secara maksimal tetapi mampu dicapai dan keinginan mereka untuk
memikul tanggung jawab dalam pencapaian tugas tersebut.
Kesiapan bukanlah ciri yang tetap pada pengikut, melainkan
bergantung pada pekerjaan. Pengikut yang ada di sebuah kelompok mungkin punya
kesiapan yang tinggi untuk suatu pekerjaan, tetapi tidak dipekerjaan lainnya.
Kesiapan pengikut juga bergantung pada
seberapa banyak pelatihan yang pernah diterima, seberapa besar komitmen mereka
pada organisasi, seberapa besar kemampuan teknisnya, seberapa banyak
pengalamannya, dan seterusnya.
1.Gaya Telling (Pemberitahu)
Gaya Pemberitahu adalah gaya pemimpin yang
selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi
pekerjaan dari jarak dekat. Gaya Pemberitahu membantu untuk memastikan pekerja
yang baru untuk menghasilkan kinerja yang maksimal, dan akan menyediakan
fundasi solid bagi kepuasan dan kesuksesan mereka di masa datang.
2. Gaya Selling (Penjual)
Gaya Penjual adalah gaya pemimpin yang
menyediakan pengarahan, mengupayakan komunikasi dua-arah, dan membantu
membangun motivasi dan rasa percaya diri pekerja. Gaya ini muncul tatkala
kesiapan pengikut dalam melakukan pekerjaan meningkat, sehingga pemimpin perlu
terus menyediakan sikap membimbing akibat pekerja belum siap mengambil tanggung
jawab penuh atas pekerjaan. Sebab itu, pemimpin perlu mulai menunjukkan
perilaku dukungan guna memancing rasa percaya diri pekerja sambil terus
memelihara antusiasme mereka.
3. Gaya Participating (Partisipatif)
Gaya Partisipatif adalah gaya pemimpin yang
mendorong pekerja untuk saling berbagi gagasan dan sekaligus memfasilitasi
pekerjaan bawahan dengan semangat yang mereka tunjukkan. Mereka mau membantu
pada bawahan. Gaya ini muncul tatkala pengikut merasa percaya diri dalam
melakukan pekerjaannya sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap sebagai
pengarah. Pemimpin tetap memelihara komunikasi terbuka, tetapi kini
melakukannya dengan cenderung untuk lebih menjadi pendengar yang baik serta
siap membantu pengikutnya.
4. Gaya Delegating (Pendelegasi)
Gaya Pendelegasi adalah gaya pemimpin yang
cenderung mengalihkan tanggung jawab atas proses pembuatan keputusan dan
pelaksanaannya. Gaya ini muncul tatkala pekerja ada pada tingkat kesiapan
tertinggi sehubungan dengan pekerjaannya. Gaya ini efektif karena pengikut
dianggap telah kompeten dan termotivasi penuh untuk mengambil tanggung jawab
atas pekerjaannya.
Pendekatan Teori Kepemimpinan Kontijensi
(Ketidakpastian)
Teori Kontijensi dalam kajian kepemimpinan
fokus pada interaksi antara variabel-variabel yang terlibat di dalam situasi
serta pola-pola perilaku kepemimpinan. Teori Kontijensi didasarkan atas
keyakinan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok bagi aneka
situasi. [12]
Teori Kontijensi punya beberapa model, yang
menurut Laurie J. Mullins terdiri atas:
Model Kontijensi Fred Edward Fiedler yang menekankan pada Situasi
Kepemimpinan yang Cocok;
Model Kontijensi dari Victor Harold Vroom and Philip W. Yetton serta
Victor Harold Vroom and Arthur G. Jago yang menekankan pada Kualitas dan
Penerimaan atas Keputusan Pemimpin;
Teori Path-Goal dari Robert J. House serta Robert J. House and Gary
Dessler;
Kedewasaan Pengikut dari Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard.
Untuk Teori Path-Goal akan dibahas dalam
sub bahasan tersendiri.
1.
Model Kontijensi Fiedler
Model Kontijensi Fiedler menekankan pada
teori kontijensi tentang efektivitas kepemimpinan. Model ini didasarkan atas
studi-studi yang cukup luas seputar situasi-situasi yang dihadapi kelompok
dalam organisasi. Konsentrasinya pada hubungan antara kepemimpinan dengan
kinerja organisasi. Untuk mengukur sikap seorang pemimpin, Fiedler
mengembangkan skala Least Preferred Co-worker (LPC). Skala ini mengukur rating
yang diberikan atas para pemimpin oleh orang-orang yang bekerja sama dengannya.
Khususnya, pertanyaan ini tertuju pada hal siapa di antara mereka paling bisa
memimpin secara baik.
Kuesioner yang dikembangkan terdiri atas 20
item. Contoh dari item tersebut misalnya Menyenangkan/Tidak Menyenangkan,
Bersahabat/Tidak Bersahabat, Mendukung/Membuat Frustrasi, Jauh/Dekat, Bekerja
Sama/Tidak Bekerja Sama, Membosankan/Menarik, Terbuka/Tertutup, dan sejenisnya.
Setiap item lalu diberi peringkat antara 1
hingga 8, dengan angka 8 mengindikasikan rating yang paling cocok. Contohnya
skalanya sebagai berikut:
Skor LPC adalah total rating angka total
seluruh item Least Preffered Co-worker. Semakin kecil rating LPC dan semakin
cocok kepemimpinan dengan responden, maka semakin tinggi LPC skor seorang
pemimpin. Interpretasi dari LPC adalah, pemimpin dengan skor LPC yang tinggi
merupakan hasil dari hubungan personal yang memuaskan, yaitu saat hubungan
dengan bawahan hendak ditingkatkan, pemimpin akan bertindak secara suportif (mendukung), dengan cara yang
penuh pertimbangan.
Sebaliknya, pemimpin dengan skor LPC yang
rendah mencirikan pemimpin yang lebih puas dengan kinerja bawahan dalam rangka
mencapai tujuan dan melaksanakan tugas. Pemimpin jenis ini menempatkan
pemberian motivasi sebagai prioritas kedua.
Bagi Fiedler, perilaku kepemimpinan
merupakan variabel dependen (bergantung) atas kecocokannya dengan situasi
kepemimpinan tertentu (variabel bebas). Terdapat 3 variabel yang menentukan
kecocokan atas situasi yang mempengaruhi peran dan pengaruh pemimpin, yaitu:
Hubungan Pemimpin-Anggota – yaitu hingga derajat mana pemimpin dipercaya
dan disukai oleh anggota kelompok, serta keingin mereka mengikuti arahan
pemimpin.
Struktur Tugas – yaitu hingga derajat mana tugas diberikan pemimpin
kepada anggota kelompok secara jelas, serta sejauh mana tugas tersebut disusun
berdasarkan instruksi yang rinci dan adanya prosedur-prosedur standar.
Kekuasaan Berdasar Posisi – kekuasaan pemimipin lewat posisinya dalam
organisasi, serta hingga derajat mana pemimpin dapat menerapkan otoritas dalam
hal pemberian reward dan punisment atau promosi serta demosi.
Lewat 3 variabel di atas, Fiedler lantas
mengembangkan 8 gaya kepemimpinan berdasarkan model kontijensinya. Bagan
lengkap Korelasi antara Skor LPC Pemimpin dengan Efektivitas Organisasi sebagai
berikut:[13]
Gambar 12 Korelasi Skor LPC dengan
Efektivitas Organisasi versi Fiedler
Tatkala situasi diperhitungkan sebagai:
Sangat Diinginkan (hubungan pemimpin-anggota baik, tugas terstruktur
secara baik, kekuasaan berdasarkan posisi dalam kondisi kuat)
Sangat Tidak Diinginkan (hubungan pemimpin-anggota buruk, tugas tidak
terstruktur, kekuasaan berdasarkan posisi dalam kondisi lemah)
Maka Pemimpin Berorientasi Pekerjaan (skor LPC rendah) disarankan
mengambil gaya direktif (mengatur) dan mengendalikan akan ia lebih efektif
dalam melakukan tindak kepemimpinan.
Saat situasi diperhitungkan sebagai:
Diinginkan Secara Moderat dan variabel-variabel berbaur.
Pemimpin dengan orientasi hubungan
interpersonal (skor LPC tinggi) maka pendekatan partisipatif akan lebih
efektif.
Fiedler menyarankan, bahwa gaya
kepemimpinan akan berbeda sepanjang situasi kepempimpinan yang dikehendaki
adalah berbeda. Fiedler berdalih, efektivitas kepemimpinan dapat ditingkatkan
dengan cara mengubah situasi kepemimpinan. Kekuasaan Berdasar Posisi, Struktur
Pekerjaan, dan Hubungan Pemimpin-Anggota dapat diubah guna membuat situasi
lebih kompatibel (cocok) dengan karakteristik-karakteristik yang dimiliki
pemimpin.
Pemimpin dengan skor LPC yang rendah dapat
ditempatkan pada situasi kepemimpinan yang paling diinginkan atau paling tidak
diinginkan. Pemimpin dengan skor LPC yang tinggi dapat ditempatkan dalam
situasi kepemimpinan yang diinginkan secara moderat.
2.
Model Kontijensi Vroom dan Yetton
Model Kepemimpinan Kontijensi lainnya
ditawarkan oleh Vroom dan Yetton. Mereka mendasarkan analisisnya pada 2 aspek
keputusan pemimpin yaitu:
(1) Kualitas,
(2) Penerimaan, di mana kedua aspek
tersebut didasarkan atas:
Kualitas Keputusan atau rasionalitas adalah keputusan yang berdampak
pada kinerja kelompok.
Penerimaan atas keputusan mengacu pada motivasi dan komitmen anggota
kelompok dalam melaksanakan hasil keputusan.Waktu yang dibutuhkan untuk membuat keputusan.
http://litamardiana.blogspot.com/2012/12/pengertian-kepemimpinan-dalam-organisasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar